Setiap kali mendengar kata beauty influencer atau beauty content creator, apa yang terlintas di benak kamu?
Selebgram dengan feed Instagram / Tiktok yang estetik dan berlatar lokasi-lokasi yang sedang hype?
Kehidupan hedon yang dibanjiri endorse produk dan segudang kontrak dengan fee yang menawan?
Lingkup pertemanan sesama influencer yang terkesan eksklusif dan berada di kelas tertentu?
Semuanya bisa jadi benar.
Tapi kali ini mari kita lihat, sebenarnya apa manfaat dari konten-konten buatan para Beauty Influencer? bukan untuk brand ya.
Tapi manfaatnya untuk kita, para followers, para penonton, para penikmat konten-konten.
Saat mereka posting konten review sebuah produk dan bila dari copy writing-nya saja kita bisa menangkap bahwa ini endorse, ini sponsor.
Apakah kamu tetap percaya dengan apa yang dikatakan mereka?
You know that they got paid to say what the brand wants to say, right?
Jadi kita ngga tahu apakah memang produknya sebagus itu. Atau bahkan apakah si beauty content creator ini bahkan memang benar-benar menggunakan produknya?
Anyway, disclaimer dulu ah.
1. Saya seorang Beauty & Lifestyle Content Creator. Tidak berani melabeli diri sebagai influencer karena rasanya belum ada kemampuan meng-influence orang banyak hehehe.
2. Tulisan ini hanya luapan isi hati dan kepala saya pribadi ya. Berupa opini. Bisa salah, bisa benar, bisa sejalan dengan kamu yang membaca, bisa juga beda.
3. Tidak ada maksud mendiskreditkan profesi apapun dan brand apapun.
4. I love my job.
Yuk lanjut..
Jadi begini,
Berangkat dari kondisi saat ini dimana hampir semua brand kecantikan menggunakan jasa content creator / influencer untuk melesatkan produknya, tentunya profesi beauty content creator / influencer ini jadi semakin menggiurkan ya.
Sejalan dengan budget yang dikeluarkan brand untuk membayar para content creator, tentu ada feedback yang ingin didapatkan juga oleh brand.
Bisa saja target feedback-nya adalah awareness terhadap brand atau produk dulu, atau malah langsung konversi ke penjualan.
Lalu mengukur awareness ini darimana?
1. Biasanya sebelum memilih talent / content creator / influencer, Brand akan melihat Engagement Rate (ER). Dengan satuan peresentase (%).
Berapa persen dari total follower / subscriber si creator ini yang "bereaksi" terhadap konten-konten yang dibuat.
ER ini mengukur reaksi : Like / Love, Comments, Save, Share.
Biasanya 12 postingan terakhir yang dijadikan panduan mengukur.
Note : Sosial media yang dibahas disini hanya gabungan antara Instagram, Tiktok, Youtube ya.
2. Lalu setelah project selesai, hasil postingan si talent / content creator / influencer ini akan diminta laporan Insight. Isi insight ini sama saja, Like - Comment - Save - Share. Tapi hanya mengukur si 1 (satu) postingan "pesanan" Brand yang bersangkutan saja.
Jadi isinya berapa jumlah Like - Comment - Save - Share yang berhasil diraih dari postingan konten tersebut dalam rentang waktu yang ditetapkan.
Bila ER terlalu rendah, tentu profilnya jadi tidak menarik di mata brand. Sehingga kemungkinan untuk dipilih atau diajak bekerja sama oleh brand akan semakin rendah.
Jadi bagaimana caranya supaya bisa cepat meningkatkan ER di tengah-tengah persaingan content creator yang bermunculan dimana-mana?
Salah satu cara : Support group.
Iya, sesuai judulnya. Banyak grup-grup bermunculan (biasanya di Whatsapp) yang bertujuan untuk saling memberikan support pada konten. Jadi isinya sesama talent / content creator yang saling bertukar engagement, bisa hanya like dan comment, bisa juga like - comment - sava - share.
Cara ini terbukti mampu membantu meningkatkan ER dan "mempercantik" Insight , that's why sampai sekarang masih banyak grup-grup support bermunculan.
But the problem is, Instagram / Tiktok / Youtube punya algoritma yang pintar. Bisa membedakan jenis akun / profile berdasarkan usia, gender, minat, dan lainnya.
Brand pasti memiliki target pasar tertentu saat meluncurkan produknya.
Sekali lagi, ini hanya bahas beauty brand dulu ya.
Misalnya brand Skincare A yang mengeluarkan skincare anti aging untuk usia 35 tahun keatas dengan harga menengah keatas juga, tentu ingin memilih talent / content creator yang profilnya sesuai dengan produk mereka. Dengan harapan follower / subscriber dari talent tersebut memiliki profil yang serupa sehingga akan teratrik dengan skincare anti aging ini.
Kemudian si talent yang dipilih , sebut saja namanya Mawar, dengan followers Instagram 20rb, membuat konten yang ciamik, elegan dan sesuai konsep. Lalu ia ikut grup support agar menghasilkan insight yang ciamik juga.
Didapatlah dari grup tersbut misalnya 500 likes, 300 comments, 100 saves, 100 shares dari postingan Instagram.
Cantik kan.
So, where's the problem?
Di grup tersebut biasanya yang berkumpul adalah talent / content creator dari berbagai bidang. Beauty, Travel, Automotive, Lifestyle, dll. Juga terdiri dari berbagai usia mulai dari 18 tahun sampai 45 tahun. Dengan minat yang beragam juga.
Jadi, Instagram membaca konten yang diproduksi Mawar ini disukainya oleh usia / minat / gender / tingkat perekenomian yang belum tentu sesuai dengan target yang diharapkan brand.
Dilihat dari Insgiht memang cantik hasilnya, (seakan-akan) tercapai target awareness yang diinginkan brand.
Tapi sebenarnya, apakah sampai ka target market yang tepat?
Berapa persen yang akan terkonversi menjadi followers akun si Brand? berapa persen yang akan terkonversi menjadi penjualan produk?
I'm not against those support group. Bahkan saya pernah coba ikutan support group, tapi hanya sebentar. Masih ada group support yang saya ikuti tapi saya berujung jadi silent reader aja.
Again, I'm not against it, hanya saja, hati nurani saya merasa kurang nyaman.
Brand sudah mengeluarkan uang dan mengirim produk gratis kepada saya. Lalu saya membuat konten sesuai konsep dan deadline yang ditentukan. Jadi rasanya tidak fair bila saya memberikan Insight yang tidak real. Seperti sedang berbohong.
Likes - Comments - Save - Share yang dihasilkan bukan karena penonton konten saya itu betul-betul menyukai dan tertarik dengan yang saya bahas. Melainkan karena saling tukar support.
Padahal brand mengharapkan tambahan followers ke profil mereka, atau bahkan konversi ke peningkatan penjualan.
Rasanya saya ngga enak aja gitu hehehe
Daann mari lihat dari POV lain.
Sesuai yang saya tulis di awal, apakah review dari content creator itu jujur karena pernah dicoba dan hasilnya bagus?
Setiap saya posting review skincare atau haircare, seriiingg dapet pertanyaan ini.
Untungnya, brand yang pernah bekerja sama dengan saya rata-rata memang memberikan timeline yang masuk akal jadi saya sempat mencoba produknya. untuk skincare itu biasanya 1 bulan, paling mepet pernah 2 minggu. Untuk haircare lebih pendek, bisa 1-2 minggu saja.
At least, saya bisa jawab jujur : IYA saya sudah pakai sendiri. Saya coba sendiri.
Namun untuk pertanyaan : apakah betul sebagus dan se-berhasil itu?
Disini saya bingung.
Honestly, tidak semua produk sesuai ekspektasi. Banyak yang so-so. Tidak bikin breakout atau failed, tapi yaaa tidak mujarab-mujarab banget juga. Tapi untuk yang memang signifikan manfaatnya, pasti saya jelaskan mati-matian di caption hehehe.
Di satu sisi, ada tanggung jawab moral untuk memberi review yang jujur. Di sisi lain, ada tanggung jawab untuk menjaga nama baik brand dan produk-produknya, yang bagaimanapun sudah menjadi jalan media untuk datangnya rezeki saya. Lagipula, tidak berhasil di saya, bukan berarti gagal juga di orang lain kan?
Tanpa bermaksud sok idealis, saya memang merasa paling berat itu tanggung jawab moral dalam memebri review yang jujur. Dan saya yaklin content creator lainnya pun ingin jujur. Tapi yaa kembali lagi, namanya juga job berbayar, jadi yaa pasti ada "pesanan" khusus.
Sejauh ini jalan keluar yang saya pakai hanyalah berusaha netral.
Tetap menulis caption atau voice over video sesuai "pesanan" yaitu menjelaskan fitur, kandungan bahan, target manfaat dari bahan-bahan tersebut dan tentu tempat membelinya. Tanpa overclaimed atas nama kulit saya sendiri.
Tapi kalau memang sebagus itu di kulit saya yaa pasti terlihat deh dari cara saya menjelaskan.
Nah, untuk menutup tulisan yang agak amburadul dan tidak terstruktur ini, izinkan saya akhiri dengan pertanyaan (biar kita sama-sama bingung hehehe) :
1. Kalau kamu sebagai yang suka cari rekomendasi produk beauty melalui social media, apakah review dari para influencer atau content creator ini betul-betul bermanfaat buat kamu? Sangat berpengaruh ke pengambilan keputusanmu?
Do you really believe what they said? atau yang berhasil meracuni kamu untuk checkout adalah konten yang lucu / keren / cantik?
2. Dan kalau kamu sebagai yang mendapat job dari brand, what would you do saat mendapat produk kosmetik atau skincare yang tidak se-wawwww itu hasilnya di kulitmu?
Sampai ketemu di tulisan berikutnya.
Stay geulis everyone.