Belakangan ini istilah Love Language sering digunakan dalam percakapan sehari-hari dan juga dijadikan konten di berbagai media sosial..
Berawal dari seorang teman yang sedang merencanakan perbikahannyabertanya kepada saya yang (saat itu) baru 10 tahun menikah. Ia bertanya, “Teh, kalau teteh dan suami itu love language-nya apa sih? kok aku lihat kayaknya teteh dan suami tuh casual banget, kayak orang
temenan aja gitu”
Saya bingung menjawabnya. Karena bahkan belum pernah mendengar istilah itu. Jadi saya hanya bisa jawab,”hah?”.
Dan dia masih melanjutkan, “Iya..apakah act of service, physical touch, words of affirmation...”
Sejujurnya, saya tidak tahu. Dan memang tidak pernah terpikirkan untuk mengetahui bahasa cinta suami saya. Selama ini yang kami (saya dan suami) tahu adalah cinta ya cinta aja. Seseorang bisa menunjukkan
cintanya melalui kata-kata manis dan perhatian dalam bentuk tindakan juga perhatian dalam bentuk kalimat, ataupun lainnya. Tidak pernah terpikirkan bahwa satu orang hanya bisa dikategorikan ke dalam 1
(satu) love language.
Dan di benak saya malah muncul pertanyaan berikutnya, “Apa pentingnya menentukan dan mengetahui love language?”.
Setelah istilah ini sering sekali muncul dari setiap obrolan saya dengan beberapa kenalan, jadi penasaran kan. Akhirnya dilakukan pencarian informasi, lewat Google tentunya. Ternyata, pengelompokan Love Language ini pertama kali ditemukan atau dikemukakan oleh Gary Chapman dalam bukunya yang berujudul The Five Love Languages: How to Express Heartfelt Commitment to Your Mate pada tahun 1992. Buku ini menguraikan lima cara umum yang diungkapkan dan dirasakan oleh sebuah pasangan romantis.
Dan 5 cara umum tersebut adalah :
· Words of affirmation
· Quality time
· Giving gifts
· Acts of service
· Physical touch
Jadi sudah lumayan lama ya, sejak tahun 1992. Tapi entah kenapa istilah ini tidak populer di saat usia saya seperempat abad. Ingin sekali membaca bukunya supaya paham tapi belum kesampaian. Setelah
diperhatikan selama beberapa waktu, ternyata Love Language ini dianggap penting hanya oleh teman-teman saya yang berusia 30 tahun ke bawah. Jadi, masuk kategori Gen-Z?. Saking pentingnya sampai 5 kategori ini (kadang saya menemukan 7 kategori) dijadikan patokan apakah mereka bisa bertahan dengan pasangannya.
Contohnya begini. Seorang teman yang meng-klaim dirinya memiliki love language Quality Time merasa pasangannya yang hanya bisa Giving Gifts tidak cukup membuatnya bahagia, dan dia pun takut pasangannya merasa kurang menerima bentuk cintanya. Ia merasa ada yang kurang dan menjadi bimbang apakah perlu dilanjutkan ke pernikahan. Semua ini hanya didasarkan pada love language mereka masing-masing. Padahal apakah selama kebersamaan mereka itu betul-betul hanya quality time yang ia perlukan untuk bahagia dalam hubungannya? Apakah saat pasangannya memberikan hadiah itu tidak membuatnya tersenyum? Dan apa iya hanya 2 bahasa cinta itu yang terus menerus muncul dalam kebersamaan mereka?
Karena dalam sebuah hubungan romantis pasti ada lebih dari 2 love language yang muncul. Yang saya tidak yakin adalah, mereka betul-betul membaca buku Gary Chapman dan memahami maksud dan tujuannya.
Beda orang, beda lagi ceritanya. Kali ini seorang yang mengaku love language yang ia suka dan inginkan adalah Words of Affirmation. Ia meminta untuk dikenalin gitu, semacam cariin jodoh lah. Tapi saat kakaknya mau mengenalkan ke seseorang dan memberitahu bahwa ini orangnya baik tapi sepertinya pendiam, jadi jangan ragu untuk memulai obrolan.
Dia malah menjawab “Aduh yang pendiam gitu biasanya love language-nya act of service atau giving gifts yaa. Aku ngga bisa kalau kayak gitu pasti ngebatin deh. I need words of affirmation.” Bahkan sebelum sempat dikenalkan. Kakaknya hanya bisa melongo.
Kali ini beda orang lagi dan beda usia. Usia 36 tahun dan status sudah menikah sekitar 5 tahun. Tentu saja ada keluhan tentang pasangan hidupnya. Tapi dari semua keluhannya itu tidak satupun ia salahkan pada si 5 (atau 7) kategori bahasa cinta itu.
Jadi, apakah betul kita perlu tahu love language seseorang?
Kalau kita mencari tahu dengan tujuan supaya bisa melakukan atau memberikan bahasa cinta yang disukai pasangan kita, sepertinya masih masuk akal. Tapi jangan dijadikan patokan keberhasilan dalam sebuah hubungan romantis.
Dan apakah 1 orang hanya memiliki 1 bahasa cinta? Dan hanya ingin menerima 1 saja bentuk bahasa cintanya? Bisakah manusia hanya memiliki dan menyukai 1 bahasa cinta?
Karena sejujurnya kalau saya sih ya ingin banget suami saya mengantar saya kemana-mana lalu di perjalanan pulang membelikan saya tas baru dan sebelum tidur mengucapkan I love you. 3 love language dari 1
orang. Wow.